Ramadhan hari ketujuh.
Sore menjelang berbuka puasa mentari telah condong ke barat dan tak lama akan segera bersembunyi di balik gunung Ungaran. Gunung yang menjulang dua kilometer dari atas permukaan laut ini konon adalah makam Dasamuka yang dikubur oleh Hanoman si kera putih. Sisa-sisa rona jingga mentari yang mulai memudar meninggalkan fitur logo Kamikaze menjadi arsiran tipis khas senja. Logo yang juga menghiasi gitar musisi terkenal Satriyo Yudi Wahono, kalau kalian tak mengenal nama itu maka kupastikan kau bukan Sobat Padi. Warna jingga adalah warna yang sungguh menarik perhatianku selama ini, seperti ada getaran-getaran cinta jika aku melihatnya, warna yang menancap dalam anganku akan sebuah nama yang ingin kusematkan untuk nama anakku kelak, tapi entah.
Cicitan burung Sriti bersautan dari tempat mereka bertengger di kabel-kabel listrik menambah sore ini nampak semakin syahdu. Meski kawanan burung ini sedikit kerepotan saat bertengger karena angin menerpa sisi kanan sayap mereka. Sebagian dari mereka sedikit payah namun tetap berusaha bertahan. “Apakah kalian sudah menyiapkan santap buka?” tanyaku kepada kawanan burung itu. Mereka tak menggubrisku sama sekali, mungkin karena karepotan mempertahankan hinggapnya yang mulai goyah. Saat angin kencang mereka terbang bersama membentuk pola bumerang dan kembali hinggap saat angin mulai memelan.
Kaldera sudah wangi dimandikan eyang putrinya yang datang dari Jakarta waktu saur tadi. Eyang putri yang masih sempat naik bus delapan jam lebih untuk menemui satu-satunya cucu perempuannya ini. Kaldera sore ini sangat antusias karena tahu kami akan pergi ke tempat sepupunya seusai santap buka nanti. Sepupu yang disebut “nak sanak” oleh orang jawa. Nak sanak ini adalah hubungan keluarga yang memiliki buyut yang sama. Eyang putri Kaldera juga terlihat gembira melihat cucu perempuannya ngomong tak ada hentinya, tanpa koma apalagi titik. Setiap tanya tak perlu ada jawab namun Kaldera tetap bertanya sambil memakai bedak cemong-cemong karena mukanya tak kering benar dari air sisa mandi. Sambil memakai baju dia terus saja bertanya kepada eyang putrinya sampai seakan eyang putrinya sedang duduk di kursi pesakitan.
Kolak pisang seharga tiga ribu sebungkus ini menjadi pembuka santap buka sore ini. Kenapa harus ada kolak setiap bulan puasa? Aku tak mau mencari tahu alasannya, biar saja menjadi misteri. Misteri bahwa kolak hanya afdol di bulan puasa. Setelah segala urusan berbuka dan sholat magrib usai, Kaldera sudah bergegas duduk di jok depan kiri mobil. Atusismenya setiap berkunjung ke rumah sepupunya itu bukan tanpa alasan. Disana ada seekor induk kucing angora yang baru saja melahirkan empat ekor anak sungguh lucu. Kaldera paling gemas melihat kucing bahkan kucing kampung yang kucel sekalipun pasti dia ingin memeluknya. Sudah berkali ulang Kaldera membujuk untuk memelihara kucing namun ibunya adalah salah satu manusia yang siap perang jika ada kucing di dekatnya, dia jijik melihat banyak bulu tapi kenapa hanya bulu kucing? entahlah.
Kami sengaja meninggalkan Kaldera di rumah sepupunya itu, baru nanti kami jemput setelah usai memeriksa calon adiknya. Ya, Kaldera akan segera menjadi kakak maka kami rutin memeriksa ke bidan setiap seminggu sekali, kebetulan sore ini adalah jadwal periksa. Sekali merengkauh dayung dua pulau terlampui. Kami lebih memilih bidan daripada dokter spesialis kandungan karena alasan yang kalian pasti tahu sendiri untuk keluarga menengah baru :).
Tak ada yang berbeda dengan periksa minggu yang lain, orang-orang mulai antre dan saling bertanya kabar. Sebagian wajah yang sudah dikenal bisa ngobrol panjang lebar tentang kehamilan dan pengalaman merawat bayi. Bidan ini selalu ramai jika mesti hampir setiap hari beliau membuka praktik di rumahnya ini. Bangunan tiga lantai yang sesungguhnya adalah dua setengah karena lantai dua lebih cocok sebagai mezzanine. Rumah bersalin ini memang sebuah rumah yang difungsikan ganda. Mungkin rumah bersalin ini tersohor karena kesan seperti berada di rumah sendiri, jauh dari kesan rumah bersalin.
Suara jarum merah jam dinding menyita perhatianku saat orang-orang mulai lelah mengobrol, waktu sudah pukul 20.05. Giliran ibu Kaldera diperiksa. Ruangan empat kali empat yang selalu dingin dan wangi aroma dari humidifier. Terdapat meja pelayanan menghadap pintu dan satu dipan periksa khas, disekat tirai biru. Obrolan selalu dibuka dengan bertanya kabar dan keluhan yang dirasakan, semua tampak normal dan berjalan baik-baik saja. Obrolan kami di dalam mobil tadi tiba-tiba menjadi nyata. Ternyata harus inap malam ini karena Kaldera segera menjadi kakak.
Mendampingi istri melahirkan adalah pengalaman pertama untukku, degub jantung ini naik signifikan menit demi menit. Ini adalah kali kedua menunggu dengan penuh kecemasan, kali pertama adalah menunggu jawaban pujaan hati apakah cintaku diterima beberapa tahun silam. Satu jam waktu berlalu terasa sangat lama, suara-suara pelantang dari masjid sekitar rumah bersalin sudah mulai terdengar orang bertadarus.
(skip banyak cerita)…
Malam itu penuh dengan pengalaman baru. Duapuluh jam penantian berakhir dengan kelegaan. Adik dari Kaldera telah lahir, perempuan. Yap, semakin menegaskan aku menjadi lelaki tertampan dalam keluarga ini. Selamat ulang tahun istriku ini kado ulang tahun untukmu tahun ini. Selamat datang anakku, tak jadi kau bernama jingga tapi Laguna Adia Respatira.