“Kau harus datang”
Begitulah bunyi pesan singkat yang kuterima pagi ini. Sesaat sebelumnya aku masih meringkuk memeluk ponselku yang dingin terpapar pendingin ruangan. Bergegas aku meloncat dari tempat tidurku kusambar handuk dan segera mandi.
Gerimis mulai turun saat aku masuk ke dalam kabin pesawat yang dingin ini, bulan Maret ini semua terasa dingin. Kulihat di sisi kiri dua pramugari menjura kepada para penumpang, mengucapkan selamat pagi dan mempersilakan duduk. Aku hanya sedikit menghiraukannya, tak menjawab salam, tak ikut tersenyum. Berlalu saja aku melewati mereka dan duduk di bangkuku. Pandanganku kini pada titik-titik gerimis pada genangan air tipis di kaki garbarata yang mulai membentuk lingkaran-lingkaran gelombang semakin membesar.
“Mendung menggelayut, penerbangan akan sedikit ada goncangan” gumamku.
Perjalananku hari ini untuk menepati undangan teman lama. Ia bercerita akan menjadi pembicara pada sebuah acara siang ini, aku diundang untuk mendengarkannya lalu memberi kritik apa yang ia tampilkan. Biasanya, dia mengirimiku tautan video hasil rekaman penampilannya saat menjadi pembicara lalu aku mengirimkan ulasan lewat pesan atau surat elektronik. Kebiasaan aneh. Bahkan aku lupa kapan aku bisa menjadi kritikus khusus untuk seorang ini.
Hari ini berbeda, tak seperti biasa. Kali ini menggelikan, dia rela untuk membiayaiku pergi pulang dari kotaku dengan tiket yang kutahu lebih dari separuh honor dia menjadi pembicara kali ini. Menurutnya, dia membutuhkan kekuatan yang tak bisa dibayar dengan rupiah berapapun untuk menyewa seorang pendengar sepertiku, ya dia hanya ingin aku melihatnya tampil di depan audiens, dan memastikan aku mendengar apa yang dia ucapkan.
Sebelum mulai memejamkan mata kusapukan padangan pada penumpang di sekitarku. Beberapa penumpang tampak tenang namun dengan kesibukan masing-masing, dua orang di bangku depan kiri membaca koran, lurus di baris sebelah kiriku sedang melihat layar monitor di depannya komplet dengan headset di telinga. Tepat di kanan dan kiriku sudah memulai untuk tidur. Agak sumpek duduk di bangku tengah. Kutata tudung jaketku dan mulai mencoba memejamkan mata.
Pesawat mendarat dengan tenang, iramanya mantap namun halus tanpa goncangan. Aku melangkah turun dari kabin, mempercepat jalan sambil kuaktifkan ponselku. Sampai di pintu keluar angin menyambut mukaku kemudian tudung jaketku lepas dari kepala. Kota ini sama gelapnya dari kota aku bertolak tadi, namun tak hujan, mungkin sebentar lagi. Aku menuju antrean taksi kemudian kubaca pesan dari dia.
“Aku tahu kau telah mendarat dengan tanda pesanku telah berwarna biru. Balaslah dengan isyarat kata yang pas, seperti secangkir kopi yang ditemani cookie. Tolong balas pesanku setelah pesan ini, seolah kau adalah kekasihku seperti dulu seperti saat kesempatan telah mempertemukan kita. Sebuah cerita yang pernah kita upayakan. Jangan malu, kumohon. Demi aku.”
Aku melihat ada kerapuhan dalam tutur katanya kali ini. Lalu benar, dia menulis lagi.
“Kurasa kau tahu kita telah lama saling mengenal. Jika nanti kau jadi candu bagaimana nasibku?”
“Kau akan baik-baik saja, tak perlu risau aku tahu komposisi yang tepat untukmu.” kubalas sesuai yang dia minta.
“Seperti yang dilakukan barista kepada pelanggan setianya? Ah setiap barista melakukan hal itu kepada siapa saja, kepada mereka yang datang ke kedaimu.”
“Tapi barista tahu tak semua pelanggan memiliki respon yang sama, hingga ia tahu pelanggan setia mana yang suka mencuri pandang itu.”
“Bukankah barista yang memulai menawarkaan secangkir kehangatan yang tak setiap pelanggan bisa meneguknya?”
“Bukankah kamu tahu apa itu firasat?”
“Masih samar”
“Biarlah tetap samar, tetap menjadi misteri seperti warna senja yang tak bisa ditebak agar kau tak cepat bosan.”
Dia tak lagi membalas pesanku. Aku juga tak berusaha untuk meneruskannya.
Taksi menyusuri jalan kota yang lengang, tak banyak kendaraan di jalan yang sama. Kuperiksa arlojiku masih menunjukkan jam sembilan.
Aku sudah tiba di pelataran gedung megah ini saat yang sama kemudian turun hujan. Aku mengingat-ingat isi di kepalaku adakah aku sungguh-sungguh belum pernah ke tempat ini? Terasa asing namun ada beberapa bagian yang familier di ingatanku.
Setelah turun dari taksi, kutengok tali sepatuku yang lepas satu kumenunduk dengan susah payah untuk mengikat kembali talinya, tas punggung berisi setumpuk novel mangkrak tak kubaca ini merepotkanku. Melangkah aku menyusuri lorong panjang, tembok tua warna putih kekuningan. Hingga sampai aku di ujung lorong belum ada tanda acara yang akan kuhadiri.
Berbelok ke kiri masih meyusuri lorong yang ditembus sinar matahari dari kisi-kisi kayu diselingi kaca bermozaik. Kemudian aku belok kanan dan sampailah di depan sebuah ruang. Orang-orang sudah banyak berkumpul disana, beberapa orang berkaus sama kupastikan mereka adalah panitia acara ini. Mereka menyambutku, mempersilakan aku masuk ruang yang agak kecil. Sudah duduk disana teman lamaku, menyambut dengan senyum. Wajahnya layu, tak kusangka dia banyak berubah kini.
“Kukira kau akan dandan bergincu tebal dan berbulu mata lentik” Dia tersenyum lagi, senyum yang sama seperti tadi kali pertama beratatap muka.
“Kau ini, baru berjumpa tak bertanya kabar malah mengomentari gincu ombreku.”
Aku tak menjawab. Kuhempaskan tubuhku pada sofa disampingnya lalu kutarik nafas panjang.
Tak lama berselang dia membuka percakapan lagi.
“Terima kasih sudah datang. Aku sengaja mengundangmu kesini, semua panitia ini kusiapkan seolah aku ada acara dan aku menjadi narasumbernya, padahal tidak.”
“Aku hanya rindu ingin bertemu dengamu. Itu saja”.
Aku bergeming, ruangan menjadi hening dan hanya terdengar tetesan air hujan yang menyelinap pada genting retak dan jatuh di plafon tepat di atas kepalaku.