Malam ini sebelum tidur saya tiba-tiba terusik dengan sebuah benda, karet gelang. Megapa? Begini, kemarin saya memenangkan lelang ikan koi sehingga sore tadi pergi ke penjual ikan koi untuk mengambil ikan tersebut, setelah berbincang beberapa saat kemudian ikan dikemas dalam plastik berisi air lalu dikembungkan dengan tiupan oksigen. Agar aman, bagian unjung plastik lalu diikat dengan karet gelang, penjual tak pikir panjang meraup beberapa karet gelang lalu mengikatnya, seolah karet gelang adalah tali biasa yang bisa diambil di kebun seperti tali dari bambu. Hati ini terasa teriris melihat karet gelang diperlakukan seperti ini.
Continue reading Romantika Karet Gelang
Category: Cerita
Selamat Datang Nak..
Ramadhan hari ketujuh.
Sore menjelang berbuka puasa mentari telah condong ke barat dan tak lama akan segera bersembunyi di balik gunung Ungaran. Gunung yang menjulang dua kilometer dari atas permukaan laut ini konon adalah makam Dasamuka yang dikubur oleh Hanoman si kera putih. Sisa-sisa rona jingga mentari yang mulai memudar meninggalkan fitur logo Kamikaze menjadi arsiran tipis khas senja. Logo yang juga menghiasi gitar musisi terkenal Satriyo Yudi Wahono, kalau kalian tak mengenal nama itu maka kupastikan kau bukan Sobat Padi. Warna jingga adalah warna yang sungguh menarik perhatianku selama ini, seperti ada getaran-getaran cinta jika aku melihatnya, warna yang menancap dalam anganku akan sebuah nama yang ingin kusematkan untuk nama anakku kelak, tapi entah.
Cicitan burung Sriti bersautan dari tempat mereka bertengger di kabel-kabel listrik menambah sore ini nampak semakin syahdu. Meski kawanan burung ini sedikit kerepotan saat bertengger karena angin menerpa sisi kanan sayap mereka. Sebagian dari mereka sedikit payah namun tetap berusaha bertahan. “Apakah kalian sudah menyiapkan santap buka?” tanyaku kepada kawanan burung itu. Mereka tak menggubrisku sama sekali, mungkin karena karepotan mempertahankan hinggapnya yang mulai goyah. Saat angin kencang mereka terbang bersama membentuk pola bumerang dan kembali hinggap saat angin mulai memelan.
Continue reading Selamat Datang Nak..
Tak Usah Gaun, Tapi..
Angin malam berhembus ke timur dengan irama yang tak teratur, kadang lambat kadang tergesa-gesa. Semaunya. Suaranya menjadi syahdu ketika meyeret daun anggur kering di tepi jalan kecil depan rumah. Semakin lama suara itu terdengar menjauh dan disusul dengan desiran angin yang kini melintas kisi-kisi pagar. Malam yang tenang. Aku tak sempat menengok apakah rembulan juga tersenyum malam ini.
Kaldera yang tak lagi mau menggubris siaran televisi dari modifikasi monitor komputer, menurut dia televisi ini tak menarik baik bentuk, gambar dan suaranya. Dia lebih asyik bermain dengan bonekanya. Setumpuk boneka yang tak satupun dibeli dari kantong ayahnya. Mungkin ayahnya pelit. Kaldera masih kangen dengan televisi lamanya, dia masih suka menanyakan kemana televisi itu berada. Televisi yang digondol maling beberapa waktu lalu tak membuat aku dan ibunya merasa kehilangan. Ada rasa bahagia yang diam-diam kami syukuri atas penggondolan itu. Demikianlah bahagia, bisa saja datang dengan sangat sederhana bahkan dari musibah. Melihat Kaldera yang tak suka lagi menonton televisi sudah membuatku bahagia, bahagia yang bisa kuceritakan kepada siapa saja. Ada anak 3 tahun yang tak suka menonton televisi. Sedikit aneh tapi aku bahagia melihatnya. (ya maklum karena yang ditonton cuma monitor kecil).
Dikirim Terserah Tak Dikirim Terserah !
Kemarau sudah akan tiba pikirku. Tapi tonggeret belum mengalun-alun menggetarkan dua pita di bawah sayapnya, mereka memiliki radar pendeteksi musim. Sebenarnya bukan radar tapi saat musim penghujan habis, tonggeret akan keluar dari tanah lalu hinggap di batang-batang pohon untuk berakustik dan siap kawin-mawin. Mungkin kemarau akan terlambat hadir tahun ini, penghujan masih panjang dan banjir masih mengancam. Manusia-manusia yang bodoh aku menyebutnya, meski sedikit banal. Merekalah yang membuang sampah semaunya, selokan, sungai, parit, drainase tersumbat. Air meluap hingga banjir datang.
Saat musim hujan seperti ini, berpergian menjadi hal yang tak menarik. Lebih menarik tinggal di rumah, ABG jaman sekarang sering menyebutnya mager alias malas gerak. Malas gerak meski sekedar membeli cemilan di warung Bu Bagus berjarak tiga rumah atau beli sayur di pasar pagi. Mendekam di rumah adalah pilihan tepat sambil berselancar dan belanja barang-barang yang tak begitu perlu di toko online (konsumtif!). Baru-baru ini The Wall Street Journal merilis transaksi penjualan online di Indonesia mencapai sekira 66 triliun pada tahun 2016. Aku agak susah membayangkan berapa jumlah angka nol dalam 66 triliun. Perkiraan itu meningkat 37,5% dari tahun 2015. Angka yang fantastis!. Dengan uang sebanyak 66 triliun aku membayangkan bisa membeli cendol atau dawet ayu Banjarnegara lalu kutaruh di dalam kolam lantas aku berenang di dalamnya. Jadi memang benar adanya “sambil menyelam minum dawet”.
Nasib Gaun Enam Ratus Ribu
Gonggongan anjing membangunkanku dari tidur yang baru sepejaman mata menurutku. Semalam harus berjibaku dengan deadline pekerjaan yang tak punya ampun. Kejam, bengis tapi sistematis. Anjing yang membangunkanku pagi ini keranjingan sekaligus kerajinan bahkan lebih rajin dari alarm dari smartphone yang sudah tak smart lagi. Tahu begitu aku tak perlu memasang alarm lagi, besok akan kubisiki telinga anjing tetangga yang berjenis Golden Retriever itu.
“Tiap hari menggonggonglah, sekira jam lima pagi. Tiga gonggong saja bernada dasar C lalu naik satu oktaf di gonggongan ketiga, cukup”.
Anakku Kaldera masih pulas melungker memeluk gulingnya. Guling yang selalu bersih, untunglah Kaldera bukan bocah yang tak bisa move on dari guling kucel pengantar tidur seperti beberapa bocah yang punya kebiasaan itu. Kulihat di pojok kasur mainan lego Frozennya tergeletak. Figur Elsa dan Ana jungkir balik tak keruan terlihat dilempar begitu saja menjelang tidur semalam, bahkah rambut Elsa rontok entah dimana. Hobi Kaldera kini tambah satu lagi yaitu menyusun lego. Lego yang selalu bertuliskan 6+, dan aku pura-pura tak tahu makna 6+ itu apa. Kalau boleh jujur sebenarnya itu hobi kami berdua orang tuanya, Kaldera hanya kamuflase saja (licik!).
Enam Ratus Ribu
Hari minggu pukul tiga sore Kaldera anakku sudah terbangun dari tidur siangnya. Meloncat dia dari kasur lalu menyongsongku di ruang tamu yang sedang asyik membaca novel. Aroma kecut dari tubuh bocah kecil ini mengusik hidungku. Namun kecut itu menjadi aroma khas yang diam-diam aku nikmati saban hari saat Kaldera menuju pelukanku.
Matanya masih agak lengket susah dibuka, tapi aku sangat mengerti ketakutannya saat bangun tak menemukan ayah disampingnya mengalahkan kerepotannya untuk membuka mata. Masih dalam pelukan yang sedikit merepotkan tangan kananku karena tangan lain memegang novel, Kaldera ingat lalu menagih janji kepadaku untuk keliling kota. Ya, sekedar keliling kota sambil bernyanyi dengan lirik yang hanya dimengerti oleh aku dan Kaldera saja, ibunya tidak.
Udara sore itu mendung tipis, matahari masih gagah meski sudah sedikit menuju barat.
“Jangan hujan..” kataku dalam hati.
Continue reading Enam Ratus Ribu